BPDB Sumbar

40 Persen Sirene Tsunami di Sumbar Butuh Perbaikan

728

PADANG - Sekitar 40 persen dari 106 sirene tsunami yang tersebar di tujuh kabupaten/kota di Sumatra Barat butuh perbaikan. Kepala Pelaksana (Kalaksa) Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Erman Rahman menyebutkan, hampir separuh dari sirene yang terpasang mengalami kerusakan atau hilang karena komponennya dicuri oknum masyarakat. 
 
Pada 2019, ujar Rahman, BPBD dan Pemprov Sumbar akan bersama-sama melakukan revitalisasi sirene dan penambahan fasilitas lain seperti CCTV di sejumlah pusat keramaian di tepi pantai. 
 
"Selama ini, kami beranggapan kita tidak komitmen dengan bencana itu sendiri. Padahal Sumbar itu supermarket bencana. Kita tidak bisa lari, namun harus siap dengan mitigasi," kata Rahman usai melakukan rapat koordinasi di Kantor BPBD Sumbar, Jumat (4/1). 
 
Revitalisasi infrastruktur kebencanaan seperti sirene, CCTV, hingga alat pengukur muka air laut (tide gauge), dianggap penting karena lebih dari 1 juta penduduk Sumbar hidup di pesisir. Setidaknya, ada tujuh daerah di Sumbar yang bersanding langsung dengan Samudra Hindia, yakni Kabuaten Pesisir Selatan, Pasaman Barat, Padang Pariaman, Agam, Kepulauan Mentawai, Kota Padang, dan Kota Padang Pariaman. 
 
BPBD Sumbar juga meminta Badan Informasi Geospasial (BIG) untuk mau berbagi data terkini tinggu muka air laut dengan Pusat Pengendalian Operasi Penanggulangan Bencana (Pusdalops) BPBD Sumbar. Selama ini, data tinggi muka air laut hanya dikirim ke server di BIG Pusat sebelum dibagikan kepada InaTEWS oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Proses pembagian data ini dianggap berbelit dan kurang efektif karena BPBD Sumbar tidak bisa mengakses data muka air laut secara langsung. 
 
"Kalau kami bisa akses data itu langsung, BPBD bisa ikut membantu BMKG segera nyatakan potensi tsunami atau tidak," kata Rahman. 
 
Upaya revitalisasi infrastruktur kebencanaan ini dilakukan menyusul tren penambahan jumlah kejadian gempa bumi di Sumatra Barat sepanjang 2018, dibanding 2017. Selain itu, tingginya frekuensi bencana yang terjadi di Indonesia dalam satu tahun terakhir membuat Sumbar mau tak mau harus menyiapkan diri. BPBD Sumbar menggandeng Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Sumatra Barat untuk menyusun proposal revitalisasi infrastruktur kebencanaan untuk kemudian dianggarkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). 
 
"Kita memulai mitigasi, wilayah pesisir. Untuk tahap awal lebih pesisir, karena kita punya peralatan cukup banyak. Tetapi sekarang tidak berfungsi lagi karena ada yang rusak, ada yang hilang," kata Rahman. 
 
Salah satu infrastruktur kebencanaan yang darurat untuk diperbaiki adalah alat pengukur muka air laut atau tide gauge. Alat ini dianggap mampu memberikan deteksi perubahan tinggi air laut secara mendadak yang mengindikasikan adanya tsunami. Misalnya, tide gauge yang terpasang di Mentawai bisa secara dini mengirim peringatan kepada stasiun di Kota Padang bila ada perubahan tinggi air laut akibat gempa. Artinya, warga Padang punya jeda waktu 15-30 menit hingga gelombang tsunami menerjang daratan.
 
Ketua IAGI Sumbar Ade Edward mengapresiasi respons BPBD Sumbar yang ingin segera melakukan revitalisasi infrastruktur kebencanaan. Catatan penting yang ia sampaikan adalah nonaktifnya empat unit tide gauge di Sumbar yang otomatis mengurangi informasi dini mengenai deteksi tsunami. Ia mendesak pemerintah bersama BIG untuk melakukan perbaikan dan memastikan seluruh alat berfungsi dengan baik. 
 
"Sekarang tinggal berfungsi yang di Teluk Bayur. Yang lainnya, berfungsi tidak online, tetapi harus diambil datanya secara manual. Kami usulkan pihak terkait di pusat, agar alat itu dioptimalkan sebagai deteksi dini," kata dia. (Republika)
 
.

.